Mahfud MD: Kasus Irman Gusman Terkait Moral Abal Abal

Mahfud MD
Semarang, infobreakingnews - Pakar hukum tata negara Mahfud MD menilai, kasus suap yang menjerat Ketua DPD Irman Gusman, adalah masalah moral. Sebagai pejabat negara, Irman Gusman sudah sangat tahu betul bahwa apa yang dilakukannya melanggar hukum. Sehingga, kalau sampai menerima suap, berarti ada persoalan moral dari yang bersangkutan.
"(Menerima suap) itu lebih ke soal moral. Jadi bukan persoalannya, dia sedang apes atau dijebak, atau bukan pula persoalan besar kecilnya uang suap. Namun, menerima suap itu yang merupakan tindak pidana," ujar Mahfud di sela-sela memberikan kuliah di Program Doktor Ilmu Hukum Undip, Semarang, Senin (19/9).
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini berpendapat, jika Irman Gusman disebut memberikan rekomendasi untuk membantu, hal itu sah-sah saja.
"Seorang pejabat dalam rangka membantu teman atau masyarakat, dengan memberikan rekomendasi atau referensi boleh-boleh saja, asalkan tidak menerima atau meminta uang atau hadiah. Itu masuk suap atau gratifikasi," tegasnya.
Mahfud mencontohkan, saat menjadi Ketua MK, dia sering memberikan referensi kepada orang yang mau melanjutkan pendidikan. "Tapi kalau itu dilakukan dengan motif tertentu, menerima uang, nah itu yang salah, karena sudah tindak pidana menerima suap," tegasnya.
Sebagai Ketua DPD, Irman Gusman, kata Mahfud, boleh membantu orang dengan memberikan rekomendasi atau referensi. Namun, jangan pakai uang. Kalau sebatas membantu dalam bentuk menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pihak-pihak tertentu, boleh, namun tidak boleh menerima imbalan uang atau hadiah.
KPK, kata Mahfud, sudah melakukan prosedur yang benar. Sampai ditetapkan tersangka, Irman Gusman berarti telah menandatangani berita acara pemeriksaan. Pasti penyidik sudah menunjukkan dua alat bukti yang sah, untuk menjeratnya.
"OTT kan ada rangkaian prosesnya. Sudah ditelusuri komunikasinya via ponsel yang disadap. Jadi, sampai ditetapkan tersangka, KPK tidak sembarangan. Karena pasti sudah ada dua alat bukti yang sah," tegasnya.
Menurut Mahfud, belajar dari kasus ini, sebaiknya ada sanksi yang sangat berat bagi para pejabat negara yang melakukan korupsi. Sebab, selama ini sanksi pidana bagi koruptor di negeri ini sangat ringan. "Tahun 2016, vonis bagi koruptor rata-rata hanya 2 tahun 1 bulan," ujarnya.
Mereka pun harus diberi sanksi tak boleh menduduki jabatan politik. "Namun, MK kan tetap memperbolehkan mereka ikut pilkada. Mau gimana lagi. Tapi pasti suatu saat, putusan MK itu harus dikoreksi," tandasnya.*** Yohanes Suroso.

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :